Akhirnya kami sampai di rumah kontrakanku. Aku dan Santi membantu memapah Herman, kawanku yang mabuk berat. Resleting celananya bahkan sampai lupa ditutup.
Tidak lama, Santi izin pamit untuk pulang ke rumah mess -nya. Tapi aku menahannya. “Sudah malam San, nanti ada apa-apa gimana?”
“Gak papa Mas, aku sudah biasa pulang jam segini.” Entah kenapa aku masih menahannya. Tidak ada maksud apapun, apalagi sampai dorongan libido. Aku hanya tak tega membiarkan pulang sendirian di jam yang mendekati fajar.
Baca Juga:Dianggarkan Rp 5 M, Jalan Plelen-Kedawung dan Gringsing-Kebondalem Segera DibangunAktivitas Gunung Dieng Relatif Normal, Warga Diminta Tetap Jauhi Kawah Sileri
“Gini dech, aku kasih dua opsi. Kamu istirahat di sini sampai pagi, nanti aku antar pulang. Atau tetap pulang sekarang tetapi aku antar juga ke mess -mu.”
Santi terdiam, lama. Akhirnya aku berinisiatif menggandengnya ke kamarku. “Sudah, kamu tidur di kamarku, kunci dari dalam. Aku biar tidur di sofa. Deal ya.” Ia lagi-lagi tak menjawab, tetapi kali ini merespon dengan senyuman yang manis. Spontan aku mendorongnya masuk ke kamar, lalu pintu kututup.
Di ruang tamu, aku yang kelelahan tetap saja tak bisa tidur. Dan entah kenapa, senyum manis Santi masih bergelayutan di kepalaku. Sudah tiga kali ini aku berkaraoke di Luxori, dan selama itu pula Santi yang menemaniku sebagai LC, meski selama ini aku juga tak terlalu hirau. Dia manis dan tak kalah seksie dengan para pemandu lagu lain, hanya saja pakaiannya tak terlalu ketat, roknya pun mendekati lutut. Dan sejauh ingatanku, Santi tidak pernah terlihat benar-benar mabuk, tidak seperti pemandu lagu lainnya. Pun dia sangat care dengan kliennya, ya seperti malam ini. “Dia begitu ke semua klien atau cuma sama aku ya?” Mendadak aku seperti kepo dan sedikit posesif.
Entahlah, alih-alih tidur karena lelah, aku malah asyik berkhayal tentang Santi. Tahu-tahu lantunan adzan membuyarkan lamunanku. Aku memilih bangun, sisa-sisa efek bir masih terasa di tengkuk dan kepala. Sedikit berat. Tapi lambungku kini lebih kondusif.
Aku sudah di depan kamarku. Belum sempat mengetuk, pintu sudah terbuka. Santi menatapku dengan wajah berair. “Mas, punya mukena nggak? Eh, Mas mau ngapain ini?”