Aku terdiam. Penjelasan guru kian menambah penasaranku. Siapa sebetulnya mereka, hingga guru pun seperti menaruh takzim kepadanya.
“Mereka pun makhluk Tuhan semisal kita. Hanya saja kepatuhan mereka tak bersyarat. Bagi mereka, ketaatan adalah totalitas tanpa ampun. Kami mendengar, kami taat, itulah prinsip mereka. Sekarang, kau tahu siapa mereka?.” Lagi-lagi Bopo mengujiku dengan teka teki.
Pertanyaan guru membuat kepalaku kian menunduk, hingga mataku tak mampu melihat ekspresi wajah teduhnya. Pikiranku seolah buntu, hingga tak sedikit pun ada gambaran kesimpulan atas pertanyaan guru. Pikiranku masih berkecamuk di sela helaan nafas guru yang kian terdengar ringkih dus tak beraturan.
Baca Juga:[PUISI] Bukan Suara SumbangRaperda Pembangunan Industri Disetujui Bersama, Kendal Siap jadi Pusat Industri Unggulan
“Maaf Bopo, saya belum juga mendapatkan gambaran. Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang ditanya. Mohon Bopo sudi memberi penjelasan untuk murid Bopo yang faqir ini,” jawabku sambil terus menundukkan kepala.
“Sudahlah anakku. Tak perlu kau pikirkan dengan serius. Mereka berdua adalah tamuku. Mereka datang bukan untuk menjenguk sakitku yang telah merepotkan kamu ini. Mereka hanya membawa kabar baik, bahwa aku sudah waktunya pergi. Maka pesanku, perbaharuilah dirimu selalu. Karena kau masih berkesempatan. Terlalu banyak orang yang menyesal lantaran abai atas kesempatan. Mungkin aku termasuk dalam kelompok penyesal itu.” Petuah Bopo semakin menukik dan menajam.
Tak terasa air mataku mengalir, hingga membasahi kerah bajuku. Tetapi kepalaku masih saja tertunduk. Sehingga, ketika dengan susah payah Bopo mengusap kepalaku, kian pecahlah tangis-diamku. Kata-kata Bopo seperti menelanjangiku. Aku malu, lantaran tak banyak belajar untuk memperbaharui kualitas hidupku yang kuanggap datar-datar saja. Tak ada lompatan berarti. “Anakku, ini sudah waktunya. Maukah kau bersaksi baik untukku?,” tukas Bopo menginterupsi kegelisahanku.
“Dengarkanlah ikrarku nak. Asyhadu anla ilaaha il lallah…wa asyhadu anna muhammadan abduhu warasuluh…”
Usapan tangan guru mendadak terhenti. Aku masih tertunduk. Namun tangan guru tak lagi kurasakan berada di kepalaku. Suara nafasnya pun tak lagi terdengar di telingaku. Perlahan kuberanikan diri mengangkat kepala. Menghadap tepat ke wajah Bioi.
Masya Allah, manis sekali senyum Bopo, seperti mensenyumiku. Matanya terpejam. Tetapi aku tahu, gurat wajahnya menampakkan ketenangan mendalam.