Kepemimpinan otoriter paling baik diterapkan pada situasi di mana hanya ada sedikit waktu untuk pengambilan keputusan kelompok atau di mana pemimpin adalah anggota kelompok yang paling berpengetahuan. Pendekatan otokratis bisa menjadi baik ketika situasi membutuhkan keputusan cepat dan tindakan tegas.
Namun, hal itu juga cenderung menciptakan lingkungan yang disfungsional dan bahkan bermusuhan, sering kali mengadu domba pengikut dengan pemimpin yang mendominasi.
Kepemimpinan Partisipatif (Demokratis)
Participative leadership style. (Sumber: freepik.com)
Studi Lewin menemukan bahwa participative leadership style, juga dikenal sebagai kepemimpinan demokratis. Gaya ini dipandang sebagai gaya kepemimpinan yang paling efektif.
Baca Juga:Bahaya Negging: Hinaan Berkedok Pujian, Jangan Terjebak!Masalah Decision Making, 4 Alasan Kenapa Kamu Sulit Membuat Keputusan
Pemimpin yang demokratis menawarkan bimbingan kepada anggota kelompok, tetapi mereka juga berpartisipasi dalam kelompok dan menerima masukan dari anggota kelompok lainnya.
Namun, dalam studi yang dilakukan Lewin, anak-anak dalam kelompok dengan pemimpin ddemokratis cenderung kurang produktif dibandingkan anggota kelompok otoriter, tetapi kontribusi mereka lebih berkualitas.
Hal ini dikarenakan pemimpin demokratis tidak mau mengabaikan satu pun pihak. Dengan demikian, pengambilan keputusan pun menjadi lebih memakan waktu daripada authoritarian leadership style.
Pemimpin partisipatif juga mendorong anggota kelompok untuk berpartisipasi, tetapi tetap berpegang pada keputusan yang telah disepakati bersama. Anggota kelompok merasa terlibat dalam proses kerja dan merasa lebih termotivasi dan kreatif.
Pemimpin yang demokratis cenderung membuat pengikutnya merasa menjadi bagian penting dari tim, yang membantu mendorong komitmen terhadap tujuan kelompok.
Kepemimpinan Delegatif (Laissez-Faire)
Delegative leadership style. (Sumber: freepik.com)
Lewin menemukan bahwa anak-anak di bawah kepemimpinan delegatif atau Laissez-Faire leadership style adalah yang paling tidak produktif dari ketiga kelompok tersebut. Anak-anak dalam kelompok ini juga lebih menuntut pemimpin, menunjukkan sedikit kerja sama, dan tidak dapat bekerja secara mandiri.
Pemimpin dengan gaya delegasi memberikan panduan yang sangat minim dan justru menyerahkan pengambilan keputusan kepada anggota kelompok. Meskipun gaya ini dapat berguna dalam situasi yang melibatkan ahli berkualifikasi tinggi, di mana bisa jadi ahli itu berasal dari anggota kelompok, gaya ini sering kali mengarah pada peran yang tidak terdefinisi dengan baik dan kurangnya motivasi.