Tentu saja aku memahami semua aturan main ini. Tapi ya tak sesederhana itu untuk mengaitkannya dengan Santi, sang pemandu lagu pertama yang sukses withdrwa my attention.
Senja, sakitku kembali kambuh. Hatiku belingsatan. Entah kenapa, di setiap peralihan cahaya, hati selalu lebih melow, sensitif, bahkan untuk kasusku mungkin sentimentil. Mungkin karena malam adalah kesunyian dan kesendrian, bukankah manusia paling takut dengan kesendirian? Jadi senja adalah situasi trans yang mencekam batin.
Simak juga: [CERBUNG] Sang Pemandu Lagu
Konon, seorang Ayah yang sedang menunggu kelahiran anak pertama juga dilanda kemencekaman batin yang serupa. Dia sedang menunggu kelahiran, dari tiada kepada ada: buah hatinya. Dalam situasi peralihan semacam ini, setan selalu tampil sebagai pengipas api. Begitulah dulu cara para orang tua menghentikan anak-anaknya yang sedang bermain di luar. Saat waktu dzuhur, mereka menyuruh anaknya pulang. “Mundak kesambet setan, muleh o.” Sementara saat senja, orang tua membuat narasi tentang sendekolo. Ya, itulah kearifan para orang-orang terdahulu mendidik anak-anaknya. Dan anehnya, saat SMA, guru Fisikaku juga pernah merasionalisasikannya. “Dalam situasi peralihan cahaya, pusaran energi memang menjadi lebih besar.”
Baca Juga:Awal Mula Masuknya Budaya K-Pop di Indonesia yang Kini Makin DigilaiMeriahnya Pesta Siaga Kwarran Warungasem, 4 Sekolah Ini jadi Juaranya
Entah soal benar tidaknya. Faktanya, saat senja perasaanku mendadak larut dan luruh, seperti ditarik mesin waktu ke masa lalu. Menghayati sakitnya ditinggalkan, dan membayangkan masa depan dengan perasaan takut dan pesimis. Sudah sekian bulan, dan ingatan tentang Sari masih sulit kuhapuskan. Mungkin karena aku masih mendendam, sulit memaafkan. Ya seperti saat ini, aku mendadak menjadi anak senja. (Bersambung)