Di bandara Jeddah saya dijemput Madura yang lain lagi: Husein. Asal Sampang. “Saya juga tidak punya ijazah SD,” ujar Husein.
“Tidak pernah sekolah?” tanya saya.
“Tidak,” jawabnya.
“Waktu kecil ke mana saja?” tanya saya.
“Sejak kecil saya mondok. Di pesantren Sampang juga,” jawabnya.
“Berarti pernah di ibtidaiah?”
“Pernah”.
“Pernah di tsanawiyah?”
“Pernah”.
“Pernah di aliyah?”
“Pernah”.
“Jadi, Anda punya ijasah ibtidaiah, tsanawiyah, dan aliyah?”
“Punya”.
Saya pun tertawa keras. Di dalam hati.
Husein anak kembar. Bersama Hasan. Kini Hasan masih kuliah di Sampang. Adik-adiknya juga masih sekolah semua. Ia tujuh bersaudara. “Ayah saya meninggal ketika saya berumur 16 tahun,” katanya.
Menurut Husein ia pun ingin kuliah. Tapi tidak mungkin ibunya membiayai tujuh anak sekolah. Maka ia putuskan untuk mengalah. Ia pergi ke Jakarta. Kerja apa saja.
Baca Juga:Heboh 300 TBencana Khudairy
Di Jakarta, Husein gabung temannya di Gondangdia. Ia ikut tinggal di bawah rel layang stasiun kereta Gondangdia.
Di situ ada gardu listrik. Konstruksi gardu listrik itu beton. Bagian atasnya rata. Di atas gardu listrik itulah ia tinggal. Bisa untuk 6 orang.
Husein ikut orang Sunda jualan telur gulung. Dua minggu kemudian ia sudah bisa membuat telur gulung sendiri. Lalu ia jualan sendiri. Keliling. Pakai sepeda.
Pernah juga Husein ikut jualan bakso di Gambir. Akhirnya jadi TKI resmi di Arab Saudi.
Kini Husein jadi pemandu jamaah haji dan umrah. Tahun depan ia ingin membiayai ibunya datang ke Jeddah. Untuk naik haji ke Makkah.
Saridi dan Husein punya jalan sendiri mengubah nasib mereka. Pun Saridi dan Husein lainnya dari Madura. (Dahlan Iskan)