Masa remajanya beliau gunakan sebagai kesempatan untuk mencari ilmu, dan memiliki motto “tiada hari tanpa menuntun ilmu”. Ahmad Rifa’i menikah dengan seorang gadis di Kendal atas pilihannya yang bernama Ummul Umroh, dari penikahan tersebut dikaruniai lima orang anak yang bernama KH. Chabir, KH. Junaid, Ny. Zaenah, Ky. Djauhari, dan Ny. Fatimah
Hingga pada usianya yang ke 31, tepatnya pada tahun 1231 M Kh. Ahmad rifai berangkat ke Makkah untuk ibadah haji dan menimba ilmu disana.
Museum KH. Ahmad Rifai di Desa Kalisalak, LImpung, Batang, sebagai monumen mengabadikan karya dan pemikiran KH. Ahmad Rifai. (Dok. Radar Pekalongan)
Baca Juga:Nama Guild FF Terbaru 2023!Cepat Naik Level! Ini Kunci Jawaban Tebak Kata Shopee Level 101-120
Selama delapan tahun di Makkah dan Madinah, ia gunakan untuk memperdalam ilmu agama dengan guru-guru besar seperti Syekh Usman, Syekh Faqih Muhammad Bin Abdul Aziz Al-Jaisyi, Syekh Isa Al-Barawi, Syaikhul A’dhom Ahmad Usman.
Setelah merasa puas menimba ilmu di Makkah dan Madinah, ulama karismatik tersebut melanjutkan belajar ke Mesir selama 12 tahun. Berguru kepada ulama-ulama terkenal seperti Syekh Ibrahim Al-Bajuri (pengarang kitab Bajuri Syarh Fath Al-Qarib), Ibnu Qasim Al-Ghazi, dan Syekh Abu Sujak.
Pada usianya yang 51 tahun, KH. Ahmad Rifai memutuskan untuk pulang ke tanah air dan tiga tahun setelahnya beliau mulai menerjemahkan kitab-kitab Arab kedalam bahasa Jawa Pegon. Akan tetapi pada tahun 1275 M/1859 H, ulama penerjemah tersebut dipindahkan ke daerah Ambon, Maluku Tengah.
Kepindahannya tersebut disebabkan karena pengaruhnya terhadap masyarakat, yang dianggap mampu mengancam stabilitas pemerintahan politik Belanda. Selain itu, penggunaan bahasa yang blak-blakan menyebut penjajah orang kafir, menyinggung eksistensi pemerintahan Belanda di Indonesia.
Perjuangan Dakwah Kh. Ahmad Rifai
KH. Ahmad Rifai memulai dakwahnya di daerah sekitar Kendal, dan sempat berdakwah di Wonosobo. Akan tetapi feedback yang diberikan oleh tokoh masyarakat dan penghulu sekitar tidak senang, karena dakwah yang disampaikan bernada tegas dan menyinggung batas kewenangan Belanda.
Sumbu amarah Belanda terbakar ketika mendengar KH. Ahmad Rifai menyampaikan gagasan baru tentang pernikahan dan shalat Jum’at kepada santrinya yang ada di Wonosobo. Sebenarnya gagasan tersebut diterima dengan baik oleh santri dan masyarakat sekitar, akan tetapi hal tersebut membuat KH. Ahmad Rifai harus dipenjara di Wonosobo.