Maka dari puasa ramadan ke idul fitri, sejatinya adalah sebuah prototype ihwal perjuangan manusia menemukan bahagia. Kembali kepada fitrahnya yang bahagia, semisal kondisi Adam dan Hawa saat masih mendiami surga.
Bahwa tidaklah kebahagiaan itu diperoleh dengan memenuhi semua keinginan. Sebaliknya, perjuangan manusia menemukan bahagia adalah justru dengan mengontrol diri atas keinginan-keinginan yang tak ada ujungnya. Seperti kata Imam Syafii, bahwa istighna, perasaan cukup bukanlah saat kita mampu memenuhi semua keinginan, melainkan justru sebisa mungkin banyak hal yang tidak kita ingini.
Artinya, Islam justru mendorong manusia untuk mencapai kemerdekaan eksistensialnya, yang laku dan batinnya tidak terombang-ambing oleh situasi, apalagi hasrat dan gengsi. Inilah perjuangan manusia menemukan bahagia yang pertama.
Baca Juga:[Khutbah Idul Fitri 1444 H] Merayakan Cinta di Hari RayaMomen Lebaran 2023, Peluang Warga Batang menjadi Tuan Rumah yang Baik Bagi Pemudik
Jamaah Ied rahimakumullah,Nilai keutamaan Idul Fitri yang menjadi perjuangan manusia menemukan bahagia yang kedua, adalah kepedulian, komitmen untuk berbagi kebahagiaan. Bahwa setelah kebutuhanmu tercukupi, lalu ada surplus, alirkanlah kelebihan itu untuk yang kekurangan. Payback your success, seperti pernah digaungkan seorang Anies Baswedan dalam Payback Movement.
Panitia zakat fitrah tengah menata beras fitrah. (dok. istimewa)
Sisihkan sebagian dari kelebihan itu untuk membuat saudara dan tetangga kita yang kekurangan tetap bisa bahagia, terutama di hari raya. Sebab kita telah belajar lapar dan dahaga, yang membuat hati kita semestinya menjadi lebih halus dan peka, empatik. Dan itu semua adalah jalan perjuangan manusia menemukan bahagia.
Sementara agama sendiri menyimbolkan kepedulian ini dalam amaliah zakat fitrah. Bahwa jangan sampai di momen hari raya yang penuh kegembiraan itu, masih ada tetangga kita yang bahkan kesulitan sekadar untuk makan.
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِه
“Semua amal perbuatan anak Adam untuk dirinya kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya.” (muttafaqun alaih)
Hadits qudsi ini menegaskan sisi personal dari puasa Ramadhan, sebuah ibadah yang amat spesial dan privat. Tetapi pada akhir Ramadan, para shaimin dan shaimat justru diminta melompat kesadarannya menjadi berwawasan sosial melalui zakat fitrah.
“Dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Id), maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu adalah satu shadaqah dari shadaqah-shadaqah (HR. Abu Dawud No 1609, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Bani)