RADARPEKALONGAN.ID – Sekadar jalan-jalan bisa bernilai ibadah lho. Kok bisa, padahal jalan-jalan atau liburan merupakan safar yang sifatnya mubah.
Bagaimana safar, traveling atau touring, dan jalan-jalan bisa bernilai ibadah? Lihat penjelasan berikut ini seperti dilansir rumaysho.com.
Ilustrasi agar safar mubah seperti jalan-jalan tetap bernilai ibadah
Sebelum mengupas agar safar, traveling atau touring, liburan, atau jalan-jalan bernilai ibadah, yuk simak dulu macam-macam safar.
Baca Juga:Dorong Mobil Pemudik yang Mogok, Gerak Cepat Satgas OKC 2023 Polres Pekalongan3 Adab Safar (Bepergian), Jadikan Safarmu Ibadahmu
1) Safar yang wajib, yaitu menempuh perjalanan untuk menunaikan kewajiban, misalnya bepergian untuk menunaikan ibadah haji yang wajib, umrah yang wajib, menuntut ilmu agama yang wajib atau kewajiban berjihad.
2) Safar yang sunah, yaitu menempuh perjalanan yang dianjurkan (disunahkan), misalnya bepergian untuk melaksanakan umrah yang sunah, haji yang sunah, dan jihad yang sunah.
3) Safar yang boleh, yaitu bepergian untuk melakukan hal-hal yang diperbolehkan dalam agama, misalnya bepergian untuk berdagang barang-barang yang halal.
4) Safar yang haram, yaitu menempuh perjalanan untuk melakukan perkara yang diharamkan, misalnya menempuh perjalanan untuk berdagang khamr (minuman keras).
5) Safar yang makruh, misalnya bepergian seorang diri tanpa ada yang menemani. Bepergian seperti itu dimakruhkan, kecuali untuk melakukan hal-hal yang sangat penting.
Ilustrasi jalan-jalan (suaramuhammadiyah.id)
Sebisa mungkin kita melakukan safar yang wajib, sunah, atau yang boleh; tidak melakukan safar yang makruh, apalagi yang haram.
Syarat Jalan-jalan Bisa Bernilai Ibadah
Adapun safar mubah, liburan atau sekadar jalan-jalan bisa bernilai ibadah. Bagaimana caranya?
Baca Juga:Wisata Ciblon Karanggondang, Asyik Bermain Air di Saluran Irigasi, Hanya Bayar Parkir Rp 5.00010 Manfaat Salak untuk Kesehatan, Bermanfaat Kontrol Asam Urat
Ada dua syarat yang mesti dipenuhi kalau hal mubah bisa bernilai ibadah:
a) Dilakukan dengan niat yang benar.
b) Sebagai wasilah (perantara) dalam rangka mensuport amalan shalih.
Dalil yang mendukung syarat pertama adalah hadits,
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ
“Sesungguhnya engkau tidaklah menafkahkan suatu nafkah dalam rangka mengharap wajah Allah melainkan akan diganjar dengan usaha itu sampai pun sesuap makanan yang engkau masukkan dalam mulut istrimu.” (HR. Bukhari, no. 6373 dan Muslim, no. 1628). Di sini, disebutkan dengan niat ikhlas mengharap pahala di sisi Allah, barulah perbuatan yang asalnya bukan ibadah bernilai ibadah dan berpahala.