Di galangan ini kami tidak hanya melihat kapal baru itu dari luar. Kami naik ke atas geladaknya. Menjenguk ruang mesinnya.
Sayang kalau tidak diluncurkan.
Rupanya soal pertanian dan peternakan sudah selesai ditata di Al-Zaytun. Maka gilirannya terjun ke perikanan laut.
Syekh Panji memang sangat memperhatikan kualitas makanan santrinya yang di atas 5.000 orang itu.
Baca Juga:Yuk Intip KUB Telaga Rejeki Binaan BPI, Sehari Bisa Hasilin Rp500 ribu lhoI-baru CSIS
Di pesantren itu selalu ada sajian ikan salmon dan tuna. Yang kandungan proteinnya tinggi. Di dua jenis ikan itulah Al-Zaytun belum mandiri. Yang lain sudah bisa memproduksinya sendiri. Secara swasembada: beras, jagung, kedelai, kacang, gula, telur, daging ayam, daging sapi, minyak goreng, sayur, buah, dan garam. Tinggal ikan salmon dan tuna yang masih membeli. Itulah yang akan diatasi dengan kapal-kapal ikan tadi.
Dari galangan ini saya menuju pesantren Al-Zaytun. Kali pertama pula. “Naik mobil saya saja. Bisa ngobrol di perjalanan selama lebih 1 jam,” kata Syekh Panji.
Hari sudah gelap. Kami meninggalkan jalan pantura ke arah Haurgeulis. Jalannya sempit. Kurang mulus. Tapi keasyikan mengobrol membuat kegelapan itu seperti terang-benderang. Dan jalan sempit itu terasa lapang. (Dahlan Iskan)