Kontrol kedisiplinan di Gontor memang ketat. Lewat struktur kepengurusan santri. Yang senior diberi wewenang untuk mengawasi yang junior. Mereka juga punya wewenang menjatuhkan hukuman bagi para pelanggar.
Pada saatnya Panji Gumilang menjadi senior di Gontor. Ia duduk di struktur kepengurusan santri. Ia pun bertekad selama setahun kepengurusannya tidak boleh terjadi satu pun kekerasan kepada junior.
Dari situ Panji Gumilang memang beda. Sejak remaja. Pun di tengah sistem yang keras.
Baca Juga:Mendagri Kembali Tunjuk Lani Dwi Rejeki Sebagai Pj Bupati BatangKomisi B Surati Pemda Segera Berantas Prostitusi, Su’udi : Ini Hal Kecil dan Mudah, Hanya Butuh Komitmen Saja!
Suatu saat santri mendapat pelajaran langsung dari pimpinan pondok Gontor: KH Zarkasyi. Kiai Gontor itu menjelaskan mengapa Gontor hanya menerima santri laki-laki. Waktu itu.
“Mengurus satu santri perempuan lebih sulit daripada 1.000 santri laki-laki,” ujar Panji menirukan kata-kata Kiai Zarkasyi.
Panji langsung ingin mengacungkan tangan. Ia ingin bertanya. Tapi temannya mencegahnya. Tidak sopan santri menyela pembicaraan kiai.
Tentu Panji ingin interupsi karena tidak akan ada tanya jawab setelah itu.
Meski usaha menyela itu gagal, Panji bertekad akan tetap mempertanyakan kata-kata kiainya itu. Pasti ada kesempatan lain. Kapan saja.
Ketika kesempatan itu tiba, Panji pun bertanya: bagaimana dengan nasib wanita di masa depan kalau mereka tidak bisa mendapat pendidikan.
Jawaban Kiai Zarkasyi membuatnya sangat lega: “Di masa kalian kelak sudah akan berbeda”.
Baca Juga:Zaytun IbraniZaytun Salmon
Kalau pun jawaban kiainya tidak begitu, Panji bertekad, kalau bikin pesantren kelak, akan menerima santri wanita.
Gontor sendiri kemudian membangun pesantren khusus wanita. Besar sekali. Lebih 100 hektare. Di daerah Mantingan. Di pertengahan antara Ngawi dan Sragen. Kalau lewat tol, dari arah Solo ke Surabaya, exit-nya di Mantingan, setelah Sragen.
Sebenarnya Panji agak telat masuk Gontor. Setamat ibtidaiah (SD) di Dukun, ia tidak langsung ke Gontor. Dukun adalah satu desa di kecamatan Gresik. Status Gresik waktu itu memang kecamatan. Kabupatennya Surabaya. Seperti halnya Jombang, masih satu kecamatan juga di bawah kabupaten Surabaya.
Maka kalau Bung Karno ditulis dalam sejarah sebagai lahir di Surabaya itu tidak salah. Tentu orang Jombang kini bisa klaim Bung Karno lahir di Jombang.