KOTA – Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan (UIN Gus Dur), Prof. Dr. Imam Kanafi, M.Ag. bersama mahasiswa jurusan Tasawuf dan Psikoterapi UIN Gus Dur melakukan kunjungan ke Pasraman Pure Kalingga di Desa Linggo Asri Kabupaten Pekalongan.
Desa tersebut juga telah ditetapkan sebagai Kampung Moderasi Beragama, dan dijadikan sebagai pusat laboratorium moderasi beragama bagi mahasiswa dan dosen UIN Gus Dur.
“Desa Linggo Asri dapat menjadi pusat laboratorium moderasi beragama bagi mahasiswa dan dosen UIN Gus Dur. Tujuannya adalah untuk memperluas pemahaman agama tentang praktik toleransi dalam kehidupan sehari-hari,” kata Prof Imam.
Baca Juga:Percepatan Penurunan Stunting, Seluruh ASN Digerakkan dalam Program ‘One Day One Egg’Warga Terima Daging Busuk, Untuk Tangani Stunting
Prof Imam juga membagikan pandangan tentang sikap toleran dan penghargaan perbedaan seperti yang dijunjung tinggi oleh Gus Dur. Nilai-nilai ini juga diadopsi oleh UIN K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan, dengan harapan mendorong toleransi dan keterbukaan terhadap semua agama tanpa diskriminasi.
“Kunjungan ini merupakan bagian dari mata kuliah studi agama-agama di Indonesia, yang diikuti oleh mahasiswa jurusan Tasawuf dan Psikoterapi,” imbuhnya.
Waris, tokoh masyarakat Hindu Desa Linggo Asri menjelaskan bahwa sejak zaman dahulu, masyarakat Indonesia telah memiliki kepercayaan agama atau kepercayaan tertentu, meskipun belum sekompleks saat ini.
Penelitian sejarah menunjukkan bahwa masyarakat setempat telah memiliki kepercayaan sejak sekitar 400 tahun yang lalu, yang diwakili oleh prasasti di Linggo Asri. “Prasasti ini mengungkapkan bahwa masyarakat saat itu mengamalkan ajaran Siwa, yang sekarang dikenal sebagai ajaran agama Hindu-Buddha,” ungkap waris.
Waris juga menambahkan bahwa semua masyarakat di Indonesia memiliki keyakinan akan keberadaan Tuhan atau Sang Hyang Widi, meskipun ritual keagamaan mereka berbeda-beda. Tujuan sejati dari agama adalah untuk menghormati Sang Pencipta, sehingga perbedaan keyakinan tidak perlu diperdebatkan.
“Leluhur kita meninggalkan semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Oleh karena itu, kita tidak perlu mempersoalkan perbedaan keyakinan karena dapat menimbulkan perpecahan,” jelas Waris.