KAJEN – Kasus bunuh diri pelajar SD di Kabupaten Pekalongan harus menjadi peringatan untuk semuanya. Dampak negatif penggunaan gadget, terutama pada anak atau remaja, tidak main-main. Utamanya, mereka yang kedekatan dengan orang tua kurang.
“Perlu ada bekal dari orang tua, masyarakat, untuk benar-benar merangkul remaja atau anak,” ujar Ketua Himpunan Psikolog Indonesia (HIMPSI) Eks Karisidenan Pekalongan, Nur Agustina SP.PSi.M.M, kemarin.
Dikatakan, orang tua jangan senang jika melihat anaknya sejak kecil dibiasakan main gadget. Dengan alasan, mereka tidak rewel dan tidak bermain keluar rumah.
Baca Juga:BPI Kolaborasi dengan Kemenag Tingkatkan Kapasitas Pelaku UMKMPendidikan Kabupaten Pekalongan Peringkat 1 Se-Jateng
“Kita tidak bisa begitu. Anak perlu bereksplorasi, salah satunya dengan bermain secara fisik. Bukan sebaliknya, justru kegiatan pasif yang sifatnya hanya permainan edukasi melalui gadget,” tegasnya.
Bukan tidak mungkin, jika diabaikan, kejadian yang menimbulkan kehilangan orang yang dicintai bisa terjadi. Ini sering menjadi pemicu seseorang mengalami trauma yang cukup berat. Dan, trauma itu apabila tidak mendapatkan penanganan, pendampingan yang tepat, bisa mengganggu secara mental kepada diri seseorang.
Si ibu korban, kata dia, jika sudah ada stigma, bahwa ponsel diminta, anak bunuh diri, itu yang menjadi penyebab utamanya. Dan, seolah-olah, ibunya yang dipersalahkan. Maka, jika masyarakat, terutama keluarga tidak memahami, mungkin justru menyalahkan sang ibu. Menurut Agustina, ini penting untuk tidak dilakukan.
“Itu kenapa, karena begitu sang ibu disalahkan, tidak usah disalahkan saja, sang ibu tentu sudah mengalami syok yang luar biasa. Apalagi, jika dia diposisikan sebagai pihak yang dipersalahkan. Tidak diposisikan dipihak yang bersalah saja, dia (ibu korban-red), sudah merasa bersalah. Itu karena, bisa jadi, bukan itu penyebab utamanya,” ujarnya.
Menurutnya, langkah-langkah yang perlu diambil, pertama perlu adanya suport sistem dari keluarga dan lingkungan. Kedua, bisa konsultasi atau minta pendampingan kepada ahlinya, misal psikolog.
“Negara sebetulnya sudah hadir di setiap kabupaten/kota, dengan adanya Unit Perlindungan dan Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Perempuan dan Anak. Dari situ, dilakukan pendampingan secara psikis,” ujarnya.