RADARPEKALONGAN.ID, PEKALONGAN – Sidang lanjutan perkara penyiraman air keras dengan terdakwa Ali Fahmi (34) kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Pekalongan, Rabu, 21 Mei 2025. Agenda persidangan kali ini adalah pemeriksaan saksi, termasuk satu dokter spesialis kejiwaan yang dihadirkan sebagai saksi ahli.
Perkara ini teregistrasi dengan nomor 74/Pid.B/2025/PN Pkl, dan dipimpin oleh Majelis Hakim yang diketuai Veni Wahyu Mustikarini, SH MKn, serta dua anggota, Nofan Hidayat SH MH dan Listyo Arif Budiman SH. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan empat saksi, termasuk dr. Sri Woroasih, SpKJ, seorang psikiater dari RSJD dr Amino Gondohutomo Semarang.
Hasil Observasi Psikiater: Gangguan Mental Berat akibat Konsumsi Zat
Dalam kesaksiannya, dr. Sri Woroasih mengungkapkan bahwa ia telah melakukan observasi selama 14 hari terhadap terdakwa, dari 25 September hingga 7 Oktober 2024. Pemeriksaan dilakukan atas permintaan visum dari kepolisian terkait kasus penganiayaan yang menewaskan satu korban.
Baca Juga:Seragam Sekolah Gratis untuk Siswa Baru SD dan SMP di Batang, UMKM Lokal Jadi Prioritas PengadaanTiga Raperda Strategis Diajukan Pemkot Pekalongan ke DPRD, Bahas RPJMD hingga Ekonomi Kreatif
“Saat pemeriksaan, Ali Fahmi cukup kooperatif dan mampu menjelaskan kronologi peristiwa yang dilakukannya. Tidak ditemukan gangguan persepsi atau halusinasi saat itu,” ujar dr. Sri di hadapan majelis hakim.
Namun, berdasarkan hasil pemeriksaan lanjutan, Sri menyatakan bahwa terdakwa mengalami gangguan mental berat, yang dipicu oleh konsumsi berbagai zat adiktif, termasuk alkohol, ganja, hexymer, dan rokok, sejak masa remaja.
“Gangguan mental ini merupakan efek dari penggunaan multiple zat. Ali mengaku mulai mengonsumsi alkohol sejak SMP, kemudian berkembang ke ganja dan obat-obatan lain,” jelasnya.
Riwayat Medis dari RS Zaky Djunaid Pekalongan
Selain dari RSJD Semarang, saksi medis lain yang dihadirkan adalah dr. Henny Rosita, SpKJ dari RS HA Zaky Djunaid Pekalongan. Ia menjelaskan bahwa Ali Fahmi pernah menjalani terapi kejiwaan sejak 13 Maret 2019.
“Saat itu pasien mengalami depresi dan menunjukkan perilaku agresif. Dari hasil diagnosa, yang bersangkutan memang mengalami gangguan jiwa,” katanya.
Meski gangguan jiwa tersebut bisa disembuhkan dengan terapi dan pengobatan teratur, lanjut Henny, terdakwa hanya menjalani sembilan kali kunjungan dalam rentang waktu sejak 2019 hingga terakhir kontrol. Kontrol terakhir menunjukkan gejala gangguan masih ada, meskipun lebih ringan dibandingkan tahun-tahun awal.