Tolak Lima Hari Sekolah, Dekan FTIK UIN Gus Dur Khawatir Sekularisasi dan Hilangnya Pendidikan Agama

Dekan FTIK UIN Gus Dur Khawatir Sekularisasi dan Hilangnya Pendidikan Agama Tradisional
SUARAKAN - Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) UIN K.H. Abdurrahman Wahid yang juga Ketua Lembaga Pendidikan Ma\'arif PCNU, Prof.H. Muhlisin, MAg.
0 Komentar

PEKALONGAN.ID,KAJEN – Kebijakan Pemkab Pekalongan untuk menerapkan sistem lima hari sekolah (full day school) menuai penolakan dari berbagai pihak. Kali ini disuarakan dari perguruan tinggi, yakni Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) UIN K.H. Abdurrahman Wahid yang juga Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif PCNU, Prof.H. Muhlisin, MAg.

“Kabupaten Pekalongan merupakan wilayah dengan tradisi pendidikan keagamaan yang sangat kuat. Madrasah diniyah, TPQ, serta kegiatan keagamaan sore hari menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya di pedesaan,” tegasnya.

Menurut Guru Besar UIN Gus Dur itu, sistem belajar enam hari selama ini memberikan ruang bagi anak-anak untuk mengikuti pendidikan agama nonformal setelah jam pulang sekolah pukul 13.00 atau 14.00. Penerapan lima hari sekolah, yang memperpanjang waktu belajar hingga sore hari sekitar pukul 15.30 atau 16.00, dikhawatirkan akan menggerus kesempatan anak-anak untuk mengikuti madrasah diniyah (madin) dan TPQ.

Baca Juga:Fraksi PKB Tegas Tolak Lima Hari Sekolah: Dinilai Abaikan Pendidikan Agama dan Kearifan LokalPastikan Proses Pemindahan Pedagang Berjalan Lancar dan Tertib, Wali Kota Pekalongan Tinjau Pasar Banjarsari

“Madin dan TPQ bukan sekadar pelengkap, tetapi merupakan pilar pembentukan karakter dan akhlak anak. Ketika waktu belajar formal memakan waktu hingga sore, anak-anak akan kelelahan dan tidak lagi mampu mengikuti pendidikan agama,” ujarnya.

Kekhawatiran lain yang disampaikannya adalah terganggunya ruang sosial anak dengan keluarga dan lingkungan sekitar. Anak-anak dikhawatirkan akan tumbuh dalam ekosistem individualistis dan kehilangan sentuhan budaya kolektif serta spiritualitas komunal yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa dan Nahdliyin.

Prof Muhlisin menilai bahwa penerapan kebijakan yang seragam secara nasional ini mengabaikan kekhasan sosiokultural masing-masing daerah. Bagi wilayah seperti Kabupaten Pekalongan, yang memiliki basis pendidikan Islam yang kuat, pendekatan yang sentralistik dianggap tidak relevan.

“Idealnya kebijakan pendidikan berbasis pada kebutuhan dan karakter lokal. Tidak bisa disamakan dengan kota besar yang sudah modern dan cenderung sekuler dalam sistem pendidikannya,” imbuhnya.

Lebih jauh, Prof Muhlisin juga menyoroti potensi sekularisasi pendidikan akibat kebijakan ini. Ketika pendidikan agama hanya menjadi bagian kecil dari kurikulum formal dan kehilangan ruang di luar sekolah, maka proses internalisasi nilai-nilai keislaman akan berkurang drastis.

0 Komentar