Renungan Kemerdekaan ke-80: Mengapa Indonesia Belum Selesai?

Renungan kemerdekaan
Renungan kemerdekaan RI ke 80, Kita tidak hanya akan menjadi bangsa yang maju, tetapi juga bangsa yang beradab, yang benar-benar merdeka dari penjajahan ego dan mentalitas yang merusak.
0 Komentar

Oleh: Rizki Nuansa Hadyan,S.Psi, MM, Psikolog*

RADARPEKALONGAN.ID – Setiap tahun, kita merayakan Hari Kemerdekaan dengan gegap gempita. Bendera merah putih berkibar, lagu kebangsaan menggema, dan euforia terasa di mana-mana.

Namun, di balik perayaan itu, pernahkah kita merenung, sudahkah kita benar-benar merdeka?

Jika kita amati realitas di jalanan, di kantor, bahkan di media sosial, kita akan menemukan sebuah ironi. Di jalan raya, pengendara saling menyalip, tak ada yang mau mengalah.

Baca Juga:SMA Muhammadiyah 1 Pekajangan Pekalongan Silaturahim dengan Orang TuaIPM SMA Muhammadiyah 1 Pekajangan Adakan Kemah Bakti, Bentuk Kader Mandiri dan Unggul 

Saat ada orang ingin menyeberang, alih-alih melambat, mereka justru menambah kecepatan. Di kantor-kantor, korupsi seolah menjadi penyakit endemik.

Pejabat publik dan swasta berlomba-lomba memanipulasi proyek demi keuntungan pribadi. Di ruang-ruang publik, amarah mudah sekali tersulut, setiap orang merasa paling benar.

Dan di mana-mana, orang-orang seakan tak peduli lagi pada lingkungan atau sesama.

Pendidikan: Akar Masalah atau Solusi?

Mungkin kita bertanya, mengapa semua ini terjadi?

Mengapa 80 tahun setelah merdeka, kita masih bergulat dengan masalah-masalah dasar seperti ini?

Jawabannya mungkin tidak berada di ruang parlemen, tetapi di ruang-ruang yang paling intim dan fundamental dalam masyarakat: rumah dan sekolah.

Pendidikan yang kita berikan selama ini, baik di rumah maupun di sekolah, sering kali mengarahkan anak-anak pada hal yang salah.

Sejak kecil, mereka dididik untuk menjadi yang tercepat dan terdepan, bukan yang tersabar dan tersopan.

Baca Juga:Ini Dia Rahasia Menyayangi dan Mendidik Anak agar Bisa TangguhKota Pekalongan Tembus 11 Besar IGA, Hari Ini Team BSKDN Melakukan Validasi Lapangan

Mereka diburu waktu, dibentak agar bergerak cepat, bukan dilatih untuk mengatur waktu dan peduli pada orang lain.

Sistem yang kita terapkan seolah mengajarkan anak-anak bahwa kesuksesan diukur dari kecepatan dan ambisi.

Akibatnya, mereka tumbuh menjadi individu yang kompetitif secara berlebihan, yang hanya peduli pada pencapaian pribadi tanpa memedulikan etika atau dampak sosial.

Paradoks Nilai dan Pendidikan

Pola ini terus berlanjut ke aspek kehidupan lainnya. Soal korupsi, misalnya. Sejak kecil, kita dididik untuk berpenghasilan tinggi dan mengejar kemewahan.

Kita diajari untuk merasa bangga dengan harta, bukan dengan kesederhanaan dan kejujuran.

Hasilnya, ketika mereka dewasa, banyak yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan material tersebut.

0 Komentar