oleh Dr. K H. Moch. Machrus Abdullah, Lc., M.Si (Ketua PCNU Kota Pekalongan)
PERINGATAN Hari Santri Nasional 2025 mengusung tema agung: “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia.” Mandat peradaban ini menuntut komunitas santri, khususnya kalangan Nahdliyin, untuk berani melangkah keluar dari kenyamanan tradisi.
Keterlibatan santri di pusat-pusat pertumbuhan masyarakat—seperti pusat-pusat urban, kreativitas, atau kota madya—menjadi keharusan. Di sinilah lahir Gerakan Santri Urban, sebuah respons metodologis yang menjembatani tradisi kokoh pesantren dengan realitas dinamis masyarakat urban. Gerakan ini merupakan upaya mentransformasi kedalaman ilmu agama (tafaqquh fiddin) menjadi pemahaman konteks zaman dan ruang (tafaqquh fil zaman wa makan).
Baca Juga:Dari Hafalan Menuju Amalan: Menghidupkan Marwah Ilmu dalam Harlah ke-96 LP Ma'arifKH Hasan Su'aidi dan H Machrus Abdullah Terpilih sebagai Rais dan Ketua PCNU Kota Pekalongan 2025–2030
Inti dari Gerakan Santri Urban terletak pada penyesuaian diri di lingkungan yang kompleks. Di kota-kota yang multikultural, cara perjuangam dakwah harus adaptif, menerapkan prinsip kunci: Muqtadhol Haal dan Muqtadhol Maqam (relevansi perkataan dengan kondisi dan tempat).
Syaikh Ali Jum’ah, ulama kontemporer terkemuka, mengingatkan bahwa perjuangan dakwah kota tidak akan menghasilkan buah jika dikelola dengan pola pikir pedesaan. Di tengah interaksi kompleks dan beragam kepentingan, dakwah harus mengedepankan hikmah, dialog, membangun kepercayaan, dan kasih sayang, bukan sekadar vonis dan “hukum hitam putih”. Karena da’i berhadapan dengan kelompok yang mungkin tidak dikenal secara personal, ia harus menggunakan bahasa nilai-nilai kemanusiaan universal, melampaui batas-batas komunitas tertentu.
Secara teologis, kehadiran santri di jantung peradaban kota juga memiliki landasan yang kuat. Gerakan ini didukung oleh ajaran tentang Imarah (pembangunan sosial/kota). Hijrah Kanjeng Nabi Muhammad saw ke Madinah bukanlah pelarian, melainkan pendirian peradaban (imarah) di pusat keramaian (‘umran). Dari sini, santri memahami bahwa Islam adalah agama yang dibangun di tempat manusia hidup, bukan dalam pengasingan. Kehadiran santri urban ini secara otomatis sejalan dengan tujuan utama agama – maqashid syariah, yaitu melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta—lima hal yang paling rentan terhadap disrupsi sosial dan moral di lingkungan kota.