RADARPEKALONGAN.ID, KOTA PEKALONGAN — Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Pekalongan mengimbau masyarakat untuk memahami konteks lokal dalam membaca dan menafsirkan data kemiskinan. Imbauan ini muncul menyusul adanya perbedaan angka kemiskinan yang dirilis oleh Bank Dunia dan BPS Indonesia, yang sempat menimbulkan kebingungan di masyarakat.
Dalam laporan terbarunya, Bank Dunia menyebut angka kemiskinan Indonesia mencapai 60,3 persen, sedangkan data resmi BPS menunjukkan angka sekitar 9 persen.
Ahli Statistik Pertama BPS Kota Pekalongan, Nadhifan Humam Fitrial, menjelaskan bahwa perbedaan ini bukan berarti salah satu data keliru, melainkan disebabkan oleh perbedaan tujuan dan metode penghitungan.
Baca Juga:ITSNU Pekalongan Terapkan WISME-4 di Kayupuring, Kelola Desa Wisata Lebih Efisien dan DigitalMenyongsong Transformasi Pemilu, Kesbangpol Kendal Dorong Partisipasi Politik Cerdas dan Berintegritas
“Bank Dunia menggunakan garis kemiskinan global sebesar 6,85 dolar AS per hari, yang berlaku untuk negara berpendapatan menengah atas seperti Indonesia. Sementara BPS menghitung garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia sendiri,” terang Nadhif, Rabu (12/11/2025).
Menurutnya, garis kemiskinan versi BPS ditetapkan melalui pendekatan kebutuhan dasar, yaitu besarnya pengeluaran rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pokok. Berdasarkan perhitungan BPS, rumah tangga dengan pengeluaran di bawah Rp 2,8 juta per bulan dikategorikan sebagai miskin.
Nadhif menegaskan, data BPS lebih relevan untuk kepentingan nasional karena mencerminkan kondisi nyata masyarakat di lapangan, dan data inilah yang digunakan pemerintah sebagai dasar perumusan kebijakan.
“BPS bukan hanya lembaga penyedia angka, tetapi juga sumber pengetahuan bagi publik. Dengan memahami konteks di balik angka, masyarakat akan lebih mampu menilai dinamika sosial-ekonomi di daerahnya secara objektif,” ujarnya. (way)
