[CERPEN] SIRAT

[CERPEN] SIRAT
Sumber foto: https://akusukamenulis.files.wordpress.com/
0 Komentar

Dan selanjutnya aku hanya bisa menyusuri sampul depan amplop polos tersebut dengan kedua mataku, tanpa pernah tahu isi dan untuk siapa surat itu ditulis. Maka kini genap satu tahun surat itu aku simpan, dari seorang pria yang mengesankan. Pria yang mengajarinya arti dari kehidupan dan kasih berkesinambungan.

Setiap melodi waktu yang aku susuri terdengar syahdu dan candu ketika dia mampir ke toko kelontong tuaku. Senyumnya mengikat ratusan tangkai mawar yang ditawarkan kepadaku, seorang Mawar yang hidup berusaha bersemi dan mewarnai nuansa tua dalam toko kecil ini.

Tetapi, itu sudah satu tahun yang lalu, dan dia tak pernah lagi kembali. Di sudut belahan bumi mana dia mendekam sekarang, tak pernah diketahui. Dahulu dia datang untuk melakukan studi kasus masyarakat desa, entah apa kasusnya, dia tak ada meninggalkan cerita. Selama 40 hari menetap, setengah harinya—terkadang malam, sering dia habiskan bersamaku. Entah bagaimana selama itu dia melakukan penelitiannya.

Baca Juga:Puisi-puisi Aris SetiyantoSoal Banjir Kendal, Bupati: Butuh Keterlibatan Pusat dan Provinsi

Acap kali dia mengajakku untuk membantunya keliling desa, tentu aku mengiyakan kemauannya. Tetapi, ujung-ujungnya kami malah keliling semesta dan menikmati cita rasa nirwana yang terbentuk atas dua senyum insan yang saling bersuka-ria. Tetapi itu sebatas kilasan tempo 40 hari, dan sisanya sekarang menjadi kenangan yang kurindukan.

Dan aku, Mawar, dengan sadar menunggu Pendi Wicaksono kembali ke hadapanku. Jika dia kembali, aku akan mengisahkan satu tahun yang begitu polos bak depan amplop surat yang dia jatuhkan di bawah etalase toko ini.

“Aku pasti akan merindukan desa ini dan kau,” katanya.

“Kalau rindu kenapa tidak kembali?” tanyaku.

“Aku tidak akan kembali, karena aku tak pernah pergi, aku yakin aku ada di dalam angin sejuk desa ini yang menyapa pagi dan malammu. Aku yakin pula kalau aku berada di dalam bagian nuranimu.”

Seperti angin, aku berhembus tersipu dengan ucapan mahasiswa semester tua itu.

“Aku suka caramu bercerita, aku juga suka caramu mendengarkanku bercerita,” ucapku.

“Mungkin aku lebih dari itu, aku suka kepadamu.”

0 Komentar