Hukum Memasuki Gereja Menurut Pendapat Imam Madzhab

<strong>Hukum Memasuki Gereja Menurut Pendapat Imam Madzhab</strong>
Wakil Walikota H Salahudin STP mengikuti upacara persiapan pengamanan Nataru 2022. (Radarpekalongan.id/Dinkominfo)
0 Komentar

JAWA TIMUR, Radarpekalongan.id – Umat Kristen akan memasuki peringatan hari Natal 2022 yang merayakannya di gereja. Yang menjadi polemik di masyarakat adalah memasuki gereja bagi kalangan muslim. Bagaimana hukum umat Islam memasuki gereja? Berikut pandangan 4 madzhab, sebagaimana dikutip di jatim.nu.or.id.Jika menelaah literatur kitab fiqih klasik, maka akan mendapati bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum seorang muslim memasuki tempat-tempat ibadah non-muslim, seperti gereja, wihara, dan sinagog.   

1. MakruhUlama madzhab Hanafi menyatakan, hukum memasuki tempat ibadah non-muslim adalah makruh. Syekh Ibnu Abidin dalam kitab Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar menyebutkan: 

   يُكْرَهُ لِلْمُسْلِمِ الدُّخُولُ فِي الْبِيعَةِ وَالْكَنِيسَةِ

Artinya: Bagi seorang muslim, memasuki sinagog dan gereja hukumnya makruh. (Lihat: Muhammad Amin Ibnu Abidin, Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar, juz 1, halaman: 380).   

Baca Juga:Bagaimana Hukum Mengucapkan Selamat Natal, Berikut Pandangan para Ulama?Jelang Pergantian Tahun Baru, Kapolri Listyo Sigit Prabowo Rombak Perwira Tinggi di Sejumlah Polda

Senada dengan Ibnu Abidin, Syekh Ibnu Nujaim Al-Mishry dalam kitabnya Al-Bahrur Ra’iq Syarh Kanzud Daqaiq menegaskan: 

     يُكْرَهُ لِلْمُسْلِمِ الدُّخُولُ فِي الْبِيعَةِ وَالْكَنِيسَةِ. وَالظَّاهِرُ أَنَّهَا تَحْرِيمِيَّةٌ

Artinya: Bagi seorang muslim, memasuki sinagog dan gereja hukumnya makruh. Dan tampaknya, hal itu adalah makruh tahrim (mendekati haram). (Ibnu Nujaim Al-Mishry, Al-Bahrur Ra’iq Syarh Kanzud Daqaiq, juz 8, halaman: 374).     

2.    BolehMayoritas ulama, meliputi ulama madzhab Maliki, Hanbali, dan sebagian ulama mazhab Syafii menyatakan, seorang muslim boleh memasuki tempat ibadah non-muslim. Ulama bermazhab Maliki bernama Syekh Abdus Sami’ Al-Abi al-Azhari menuturkan: 

   أَيْ مَعْبَدُهَا كَنِيْسَةً أَوْ بِيْعَةً، وَلِزَوْجِهَا الْمُسْلِمِ دُخُوْلُهُ مَعَهَا

Artinya: Yaitu tempat ibadah istrinya, baik berupa gereja atau sinagog. Dan suaminya yang Muslim boleh memasukinya (tempat ibadah istri) bersama istrinya. (Lihat: Abdus Sami’ al-Abi al-Azhari, Jawahirul Iklil, juz 1, halaman: 383).   

Ulama bermadzhab Maliki yang lain bernama Ibnu Rusyd al-Qurtubhi juga menuliskan dalam kitabnya Al-Bayan Wat Tahshil sebagai berikut: 

     وَرَوَى ابْنُ الْقَاسِمِ أَنَّ مَالِكًا سُئِلَ عَنْ أَعْيَادِ الْكَنَائِسِ فَيَجْتَمِعُ الْمُسْلِمُونَ يَحْمِلُونَ إلَيْهَا الثِّيَابَ وَالْأَمْتِعَةَ وَغَيْرَ ذَلِكَ يَبِيعُونَ يَبْتَغُونَ الْفَضْلَ فِيهَا. قَالَ: لَا بَأْسَ بِذَلِكَ

Artinya: Ibnu Qasim bercerita, Imam Malik ditanya tentang perayaan di gereja, di mana umat Islam berkumpul lalu membawa baju, perhiasan, dan barang-barang lain menuju gereja untuk menjualnya di sana. Beliau berkata: Hal itu tidak apa-apa. (Lihat: Ibnu Rusyd al-Qurtubhi, Al-Bayan wat Tahshil, juz 4, halaman: 168-169).   

0 Komentar