PEKALONANGAN, RADARPEKALONGAN.ID – Kebiasaan menerbangkan balon udara merupakan tradisi orang keturunan Indo Eropa pada zaman penjajahan Belanda yang tinggal menetap di Pekalongan. Jadi bukan tradisi masyarakat asli ‘wong kalongan’.
Budayawan Pekalongan, Zainal Muhibbin SPd mengatakan, bila ada yang menyebut menerbangkan balon udara merupakan tradisi Pekalongan, maka itu pemahaman yang keliru. “Karena merupakan kebiasaan menerbangkan balon berasal dari orang keturunan Indo Eropa zaman dulu yang bermukim di Pekalongan,” ucapnya.
Namun karena sebagian warga Pekalongan selalu menerbangkan balon udara pada lebaran idul fitri, maka ada anggapan sudah menjadi tradisi.
Baca Juga:Peringatan Haul KH Tohir bin KH Abdul Fatah Tahun 2023 DigelarBPBD Kota Pekalongan Budayakan Masyarakat Sadar Bencana Dalam Peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana pada 26 April 2023
“Padahal hanya ikut-ikutan pengaruh warga Indo-Eropa yang menetap di Kota Pekalongan di masa penjajahan Belanda,” tuturnya.
Ukuran balon bervariasi. Ketinggiannya bisa mencapai 6 meter dengan diameter mencapai 4 meter. Balon dapat terbang hingga 28 ribu kaki.
Di Indonesia sendiri, kebiasaan melepas balon udara juga dilakukan di beberapa daerah di Jawa Tengah. Seperti Wonosobo, Cilacap, Kebumen, Purworejo, dan Garut.
Menerbangkan Balon Udara Dilarang
Padahal tradisi menerbangkan balon udara tersebut membahayakan penerbangan. Balon tanpa awak tersebut memiliki bahan parasit berukuran besar dengan bahan bakar gas yang kecepatannya tidak bisa diprediksi.
Makanya AirNav Indonesia mengambil langkah dengan menerbitkan Notice To Airmen (NOTAM) bernomor ‘A2115/17 NOTAM’ karena banyaknya balon udara membahayakan berhamburan di langit Jateng. NOTAM itu berlaku satu minggu ke depan hingga 2 Juli 2017. (dur)