PEKALONGAN, PEKALONGANRADAR.ID – Dari telusur sejarah, ternyata perayaan Syawalan Pekalongan yang ditandai dengan menyediakan menu lopis di Kelurahan Krapyak, Kota Pekalongan sudah ada sekitar tahun 1885. Dimulai dari kebiasaan puasa Syawal yang dilakukan oleh KH Abdullah Sirodj yang merupakan seorang ulama besar pada era kolonial Belanda.
“Sosok KH Abdullah Sirodj merupakan ulama yang menjadi panutan masyarakat, tidak heran kebiasaannya untuk melaksanakan puasa Syawal selama seminggu penuh setelah hari raya Idul Fitri diikuti oleh masyarakat,” tutur Habib Hasyim Basyaeban salah satu sesepuh Krapyak.
Melihat pengaruh yang besar dari KH. Abdullah Sirodj terhadap masyarakat Pekalongan membuat pemerintah kolonial Belanda takut terhadap beliau. Belanda takut dengan kepatuhan masyarakat Pekalongan terhadap beliau, jika beliau memerintahkan perlawanan maka seluruh rakyat Pekalongan dapat melawan dan tidak patuh terhadap Belanda.
Baca Juga:Tradisi dan Budaya Pekalongan Terkenal IslamiMasuki H+2 Lebaran Idul Fitri 1444 H, Pastinya Pusat Belanja Batik IBC Wiradesa Mulai Dipadati Pembeli
Untuk mencegah hal tersebut terjadi, maka pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk mengasingkan KH. Abdullah Sirodj, beliau pun berada di Magelang hingga akhir hayatnya.
Usai menunaikan sholat sunnah Idul Fitri, Warga Pekalongan menggelar ramah-tamah di halaman mushola setempat.(Radarpekalongan.id/abdurrohman)
Kepatuhan masyarakat terhadap ajaran beliau membuat tradisi puasa Syawal tetap dilaksanakan masyarakat mesksipun KH. Abdullah Sirodj tidak hadir ditengah-tengah mereka.Sebagai perayaan syawalan Pekalongan untuk menandai selesainya puasa Syawal maka masyarakat membuat kue Lopis.
Kue tersebut dipilih karena berbahan dasar ketan yang memiliki sifat lengket, sifat lengket tersebut melambangkan keeratan silaturahmi. Diantara beras lainnya ketan memang merupakan beras yang paling lengket, tidak heran ketan sering digunakan sebagai bahan baku makanan yang memiliki filosofi hidup harmonis.
Pesan Soekarno pada Perayaan Syawalan Pekalongan
Dengan menyajikan kue Lopis tersebut diharapkan masyarakat Pekalongan dapat bersatu dan memiliki tali silaturahmi yang kuat. Filosofi tersebut juga menjadi pesan dari proklamator kemerdekaan Bapak Soekarno untuk perayaan syawalan Pekalongan.
Pada tahun 1950 Presiden Soekarno datang dalam rapat akbar di lapangan Kebon Rodjo Pekalongan (sekarang menjadi Monumen), beliau berpesan agar rakyat Pekalongan bersatu seperti lopis. Pesan dari Bapak Proklamator tersebut menjadi pemicu semangat masyarakat untuk terus melestarikan tradisi tersebut.