SURAT undangan itu kuterima kemarin lusa. Darimu, yang melangsungkan pernikahan hari ini. Tidak ada yang spesial dari sebuah surat undangan pernikahan. Tetapi tidak dengan yang satu ini. Si pengundang, nama yang tertera di surat undangan, adalah sosok perempuan yang pernah memahatkan namaku di tembok kamarnya. Namaku pula yang pernah sekian waktu memenuhi buku diarinya. Namaku ada di hatinya.
Aku berbagahagia, karena hari ini ia akan menikah. Sebab setahuku, ia pernah memutuskan untuk tidak menikah. Ketika kuprotes, ia tetap bersikukuh dengan credonya. “Inilah pilihan hidupku. Secara khusus kupersembahkan untukmu, lelaki keabadianku.”
Sore hari. Aku telah sampai di beranda rumahmu. Aku bingung, rumahmu sepi. Tak ada keramaian. “Apakah pernikahannya batal, ataukah pesta baru saja usai,” batinku.
Baca Juga:Marak Pembobolan Rekening Lewat Pesan Undangan Nikah, Begini Cara MencegahnyaMau Luka Pasca Operasi cepat Pulih, Yok Banyak Konsumsi Ikan Gabus
Kuketuk pintu. Seorang nenek kini telah berada di depanku. “Maaf, apakah Seruni ada di rumah, Nek? Kalau boleh tahu, apakah pesta pernikahan telah selesai. Aku Salman, teman lamanya.”
Si nenek terdiam. Sejak tadi keningnya berkerut, melebihi usianya. Ia menyodorkan tangan, mengajakku bersalaman.
“Sebulan lalu dokter mendiagnosanya mengidap kanker otak stadium akut. Dokter pula yang memvonis usia Seruni kurang dari sebulan. Dan empat hari lalu, Seruni membuktikan vonis sang dokter.”
Mendadak aku limbung. Paru-paruku berkontraksi hebat, hingga nafasku menyesak.
“Kau tak detail membaca surat undangan pernikahan itu. Lelaki yang tertera di surat itu, lupakah kau dengan nama itu? Bukankah nama itu yang dulu hingga akhir hayatnya, disematkan Seruni untukmu?.” []
_____________
Cerpen ini pernah penulis tayangkan dengan judul “Sang Mempelai” di platform Kompasiana, dengan link berikut: https://www.kompasiana.com/sayeva/5500e280a33311ac0a510f55/sang-mempelai