Oleh : Dahlan Iskan
PUBLIK terbelah. Ada yang ingin Menko Polhukam gebrak terus dan ada yang ingin ”selesaikanlah secara internal”.
Pendapat yang terakhir itu muncul lantaran Mahfud MD adalah bagian dari pemerintah. Bahkan seorang Menko. Ketua Komite Pencegahan TPPU pula.
Pendapat pertama juga kenceng: kalau saja Mahfud tidak buka habis soal Rp 349 triliun itu bisa jadi hanya sebagian yang ditangani. Sebagian lagi akan tertutup oleh ramainya THR.
Baca Juga:Blusukan, Satpol PP Sita Ratusan MinolKutuk Perbuatan Bejat Oknum Pengasuh Pondok Pesantren, Kemenag Batang Rekomendasikan Pencabutan Izin
Tentu ada yang bilang konflik antara Kemenko dan Kemenkeu ini seperti gajah lawan gajah. Dan yang kalah adalah DPR. Setidaknya kalah citra. Maka banyak juga yang memuji Mahfud MD: sekali tembak pelurunya mental ke sasaran lain.
Saya mengikuti perkembangan terakhir ribut 349 ini dari jauh. Kelihatannya akan diselesaikan secara adat. Diadakanlah rapat koordinasi. Mahfud yang memimpin rapat itu. Sebagai ketua Komite Pencegahan TPPU.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menkeu Sri Mulyani hadir. Kepala PPATK dan Ketua OJK juga hadir. Bahkan mengikutkan eselon satu di masing-masing lembaga.
Kesimpulan rapat, Anda sudah tahu: “Tidak ada perbedaan angka”. Baik yang 349 maupun yang 189. Kesimpulan lain: sebagian sudah ditangani, sebagian lagi akan terus ditangani.
Soal yang 189, ujar Mahfud, sudah dibawa ke ranah hukum. Bahwa pemerintah kalah di pengadilan, Mahfud mengatakan akan dilakukan upaya lain: case building.
Anda pun sudah tahu apa itu case building. Kasus itu akan dikaji ulang. Distrukturkan. Dianalisis. Dicarikan argumen yang baik agar pemerintah menang.
Pokok persoalannya: mengapa ekspor emas yang lalu-lintas transaksinya melibatkan 15 perusahaan dengan nilai agregat sampai Rp 189 triliun itu tidak dipungut bea.
Baca Juga:Ditanya Kapolda, Pengasuh Pondok Pesantren Mengaku Cabuli dan Setubuhi Lebih dari 14 SantriModus Dijanjikan Mendapat Karomah, Pengasuh Pondok Pesantren Cabuli dan Setubuhi 14 Santri
Anda sudah tahu jawabnya: eksporter mengatakan yang diekspor itu emas perhiasan. Beanya 0 rupiah. Pemerintah menilai itu emas wungkul. Harus bayar bea.
Akhirnya berlarut. Sampai ke pengadilan. Pun sampai tingkat terakhir: PK. Pengusahanya yang menang.
Dalam case building itu nanti soal cerita tidak lagi penting. Sudah jelas. Yang penting adalah: bagaimana menyusun argumen yang jitu. Bisa jadi dalam proses peradilan yang lalu penyusunan argumennya kurang cerdas. Atau memang tidak punya argumen sama sekali.