RADARPEKALONGAN.ID – Kalau Anda jenuh membaca buku sejarah, maka membaca karya fiksi berlatar sejarah bisa jadi cara alternatif. Novel Runtuhnya Sebuah Keangkuhan adalah salah satu contohnya, bagaimana memahami sejarah Alas Roban era 1700 an melalui dunia imajinasi, yakni sebuah novel karya penulis Batang, Sugito Hadisatro.
Sebagai penulis, Sugito sendiri enggan melabeli karyanya tersebut sebagai novel sejarah, karena bagi dia lebih tepat untuk menyebut novel Runtuhnya Sebuah Keangkuhan sebagai sebuah karya fiksi berlatar peristiwa sejarah.
Novel Runtuhnya Sebuah Keangkuhan ini seolah ingin menegaskan kembali trademark yang melegenda, siapa yang tak mengenal Alas Roban? Bahkan dulu nama ini lebih masyhur dari nama Batang itu sendiri. Dikisahkan dalam novel, bahwa Alas Roban era 1700 an telah menjelma menjadi urat nadi perdagangan antara Batavia (Brang Kulon) dan Mataram dan juga dengan kota-kota di Brang Wetan (Surabaya, Madiun, Bali) mempunyai peran penting dalam perputaran perkonomian rakyat pesisir di Sebayu (Tegal), Watang (Batang), Asem Arang (Semarang) hingga Kerta (Mataram) dan daerah-daerah di sebelah timurnya.
Baca Juga:224 Peserta Ambil Bagian dalam PTMSI Kendal Open 2023, Bukti Tenis Meja Kian DigemariTolak RUU Kesehatan, Nakes dari 5 Organisasi Profesi Demo di DPRD Kendal
Jalur ekonomi di tengah hutan belantara itu juga memunculkan perilaku sebagian masyarakat yang negatif (membegal, merampok, bahkan membunuh). Sementara di sisi lain, ada upaya para saudagar mempertahankan hak milik dengan menghadirkan jagoan-jagoan (pendekar) sepanjang perjalanan untuk melindungi usaha dagang mereka.
Tampilan cover depan-belakang Novel Runtuhnya Sebuah Keangkuhan. (Dok. Istimewa)
Dalam novel Runtuhnya Sebuah Keangkuhan ini, konflik yang disajikan tidak hanya terjadi di seputar dunia perdagangan, pada aspek lain kehidupan masyarakat juga melahirkan konflik baik antar individu maupun antar kelompok. Dari sini kemudian muncul tokoh-tokoh yang mewakili kebenaran (Ki Seblu, Jaka Pamegat, Bagus Rangga, Ranapati, Rara Ambengan, Rara Warasih, dan lain-lain) dan tokoh-tokoh yang mewakili dunia kelam, seperti Ki Demung dan kawanannya, Raden Pedut (simbol keangkuhan), Tedung Gunarbo, dan para begal Alas Roban pimpinan Ki Lurah Gewor.
Adalah Ki Seblu yang menjadi salah satu antagonis utama dalam novel Runtuhnya Sebuah Keangkuhan, mantan prajurit kesatuan khusus Kerajaan Mataram, yang pada masa lalu dikirim oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma ke Batavia (Betawi) untuk mengusir Kompeni Belanda dari sana. Misi ini gagal, sehingga semua prajurit ditarik kembali ke Mataram. Ternyata, tidak semua prajurit kembali ke Mataram. Ada di antara mereka yang berhenti di daerah-daerah sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Ki Seblu dan tiga sahabatnya, yaitu Ki Bagus Panuntun, Ki Guntur Geni, dan Raden Panji Aksanagati serta pemimpin pasukan khusus yang berjuluk Ki Ajar Gringsing termasuk prajurit-prajurit yang memilih tidak kembali ke Mataram. Ki Seblu memilih tinggal di sebuah pedukuhan kecil bernama Asemjajar, Kadipaten Watang.