“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”
Bahwa di balik pergerakan benda-benda langit itu, ada Dzat yang Maha Esa yang mencipta dan mengendalikan semuanya. Besarnya curiousity Ibrahim untuk mencari kebenaran serta nalurinya yang condong pada kebenaran inilah yang membuat Allah melekatkannya dengan gelar al-hanief.
Bahwa ada Tuhan yang Esa yang telah menciptakan benda-benda langit yang sebelumnya disangka sebagai tuhan. Senafas dengan itu, Allah pun melekatkan Ibrahim dengan karakter al-hanief, yang condong pada kebenaran. Sementara para sejarawan agama mendaulatnya sebagai The Father of Monitheism. Jadi, tauhid adalah satu yang utama dari warisan Nabi Ibrahim yang monumental.
Baca Juga:DPRD Batang Minta Penyerapan APBD 2023 Dipercepat, Demi Intervensi Langsung Pergerakan Eokonomi200 Guru Ikut Pelatihan Menulis Ilmiah, Sekda Minta Jangan Hanya Kejar Credit Point, Tetap Tingkatkan Kompetensi Profesi
Maka tidak heran kalau sejarawan barat yang meneliti agama-agama seperti Karen Amstrong, menyimpulkan ajaran monoteisme Ibrahim adalah akar dan titik temu agama besar dunia (agama samawi), yakni Yahudi, Nasrani, dan Islam sendiri.
2. Nilai Islam
Berikutnya, warisan Nabi Ibrahim yang monumental adalah Islam itu sendiri, yang bermakna tunduk dan patuh (submission) pada hukum Tuhan. Faktanya, dari proses pencariannya atas Tuhan Yang Esa itu, Ibrahim akhirnya mendapatkan fakta kebenaran bahwa bintang, bulan, matahari, dan bahkan alam semesta ini ternyata hanya tunduk patuh pada hukum Tuhan, itulah milah Ibrahim, itulah Islam dalam makna generiknya, yakni sikap tunduk dan patuh pada hukum Tuhan, sebagaimana matahari yang terbit dan tenggelam, benda-benda langit yang bergerak pada garis edarnya, sebagaimana pula benda-benda akan jatuh saat dilempar ke atas.
Tak terkecuali, saat apel yang jatuh dan mengenai kepala Isaac Newton di pelataran rumahnya, dan akhirnya dirumuskan Newton sebagai hukum gravitasi, itu juga bagian dari hukum alam (sunnatullah) yang dilekatkan Tuhan atas semesta.
Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah (aslim) !” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh (aslamtu) kepada Tuhan semesta alam”. (Al-Baqarah: 131)
Sikap ketundukpatuhan Ibrahim pada Tuhan ini juga bisa dilihat dalam dua perintah amat berat yang harus dijalankan bersama keluarganya. Pertama, saat ia menerima titah Tuhan untuk menyembelih Ismail, anak yang telah ia nanti selama berpuluh-puluh tahun kelahirannya. Yang kedua, saat Ibrahim diperintahkan meninggalkan Hajar dan bayi Ismail di Mekah tempo dulu, sebuah padang pasir yang gersang dan tandus, nyaris tanpa vegetasi, tanpa populasi manusia.