RADARPEKALONGAN.ID – Seusai kepergian Oey Kam Long perusahaan batik tulis Oey Soe Tjoen Pekalongan dijalankan oleh Oey Kiem Lian, anak kedua Oey Kam Long dan cucu Oey Soe TJoen, atau dikenal dengan Widianti.
Awalnya tidak berminat pada batik. Bagaimanapun sebetulnya tidak ingin bekerja di pekalongan.
Namun setelah keluarga besar memintanya untuk meneruskan usaha batik warisan kakek dan ayahnya, hatinya pun luluh.
Baca Juga:Sejarah Perkembangan Batik Yogyakarta dan Ciri KhasnyaSejarah Panjang Batik Pesisiran dengan Warna Warninya yang Mengagumkan dan Ciri Khasnya
Generasi ke-2 batik Oey Soe Tjoen Ibu Mulyani & generasi ke-3 Widianti Wijaya (Twitter/@iwetramadhan)
Apalagi setelah dia memahami kerepotan ibunya mengurus perusahaan batik dengan 60 an pengrajin.
Meski pilihan ini mengandung tanggung jawab besar, ia terus melangkah demi menjaga nama baik mendiang kakek dan neneknya serta Ayahnya.
Juga para pengrajin sudah mempercayakan rumah batik tulis Oey Soe Tjoen Pekalongan sebagai tempat mencari nafkah. Pelanggan setia menantikan kreasi batik dari Oey Soe Tjoen.
Ada semacam perjanjian tidak terlutis dalam keluarga besar Oey Soe Tjoen. Jika ada satu anak yang ingin meneruskan usaha baik, anak yang lain dilarang membuka usaha yang sama.
Kalau mereka tetap ingin menyamai usaha saudaranya, maka dia harus keluar dari rumah orang tuanya.
Juga tidak boleh menggunakan merek dagang yang sama. Siapa yang ingin meneruskan usaha keluarga, dia harus mampu memproduksi batik dengan kualitas yang sama.
Baca Juga:Mengulik Akulturasi Budaya Cina pada Batik Oey Soe Tjoen Pekalongan, Batik Tulis Peranakan Tertua di IndonesiaMengenal Perkembangan Batik Pedalaman, Dibuat dengan Ciri Khusus yang Jarang Orang Ketahui
Jika tidak bisa memenuhi itu, sebaiknya mundur. Karena itu tugas menerukan usaha batik tulis Oey Soe Tjoen Pekalongan yang melegenda merupakan tantangan berat bagi Widianti.
Perjuangan Ibu Widianti dalam Melestarikan Batik Tulis Oey Soe Tjoen Pekalongan
Saat menekuni batik tulis Oey Soe Tjoen Pekalongan pada tahun 2003. Widianti tidak langsung belajar membatik melainkan belajar mewarnai terlebih dahulu.
Ia mencoba membaca catatan rumus pewarnaan peninggalan ayahnya dan meminya pengrajin yang biasa membantu di bagian pewarnaannya mendampinginya.
Ternyata sang pengrajin tidak kooperatif. Setiap kali Widianti menjadwalkan untuk praktik dia mangkir.
Akhirnya Widianti mencoba sendiri dibantu pengrajin lainnnya yang memiliki pengalaman mewarnai. Beberapa kali mencoba akhirnya berhasil.