Oleh Hisyam Chamid, S.Psi
RADARPEKALONGAN.ID – Kawan-kawan sekalian, mari kita mulai dengan jujur, kita semua sedang mengalami trauma kolektif!
Bukan hanya karena menyaksikan kengerian banjir bandang di Sumatera yang menghapus nyawa hingga 914 jiwa, tetapi karena trauma melihat akting pejabat performatif yang seolah-olah bencana ini hanya drama alam sesaat.
Dalam ilmu psikologi penanganan krisis, kita tahu bahwa ketika seseorang terpapar situasi abnormal, wajar jika muncul reaksi seperti tegang, cemas, bingung, atau bahkan marah besar.
Baca Juga:2 Peneliti Pusat Studi Filantropi FEBI UIN KH Abdurrahman Wahid Ikuti RCC Asesor WakafRahasia Sukses M Aditya Warman: 'Jadikan Ibu Sebagai 'Jimat' dalam Hidup Ini'
ini bukanlah patologi yang butuh medikasi khusus, melainkan reaksi psikologis alamiah terhadap kegagalan sistemik.
Tujuan utama intervensi psikoedukasi kita saat ini bukan hanya menenangkan korban dari puing-puing, tetapi juga menyadarkan seluruh rakyat. Kemarahan kita adalah respons sehat terhadap tata kelola yang sakit.
Bencana ekologis di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan sekadar kebetulan curah hujan ekstrem, Bung. Ini adalah hasil akumulasi kebijakan yang benar-benar mengabaikan daya dukung ekosistem.
Bayangkan, dalam satu dekade kepemimpinan terakhir, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh kehilangan hutan alam seluas 3,6 juta hektar, sebuah angka deforestasi yang mengerikan.
Di tengah kehancuran ini, kita disuguhi pemandangan para Menteri yang cenderung mereduksi fakta kerusakan lingkungan dan sibuk membanggakan penurunan angka deforestasi yang tak sebanding dengan tren kenaikan jangka panjang yang mereka biarkan sebelumnya.
Ini ibarat dokter yang menyembunyikan diagnosis kanker stadium akhir sambil memamerkan hasil diet sehatnya, sebuah manipulasi kognitif yang melukai rasa keadilan publik secara mendalam.
Jelas sekali, sumber malapetaka ini berakar di krisis akuntabilitas hulu.
Bagaimana mungkin 31 izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang mencakup lebih dari 1 juta hektare diterbitkan di tiga provinsi terdampak, memuluskan jalan bagi kerusakan yang hari ini kita tuai dalam bentuk bencana dengan kerugian ekonomi mencapai puluhan triliun rupiah?
Baca Juga:M Adityawarman Bahas Karakter Gen-Z dalam Sesi Parenting SMA Muhammadiyah 1 PekajanganJuri IGA Lakukan Visitasi dan Validasi ke RSUD Bendan dan Kampung Bugisan
Kita perlu menunjuk hidung para pejabat di hulu perizinan, mulai dari Dirjen di Kementerian teknis hingga Kepala Bappeda dan anggota legislatif yang merumuskan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Merekalah yang bertanggung jawab secara struktural. Ketika RTRW menetapkan kawasan resapan air sebagai zona budidaya atau pertambangan, itu adalah kebijakan yang sengaja mengundang bencana.
