Sebagian besar orang bisa jadi tidak sadar, jika kepalanya sedang mengembangkan pola pikir tidak rasional. Padahal, pola pikir yang menyimpang bisa menjadi akar dari citra diri yang rendah, masalah kesehatan mental, trauma, atau kecanduan.
Pikiran-pikiran yang berkelindan dalam otak, pada akhirnya dapat muncul dalam kata-kata dan perbuatan. Bukan hal sepele, karena ia berpotensi besar mengendalikan semua aktivitas manusia baik fisik maupun mental.
Pola pikir yang demikian dikenal juga dengan istilah distorsi kognitif. Ini terjadi ketika seseorang memiliki pola pikir tidak akurat dan cenderung bias secara negatif. Pemikiran yang dikembangkan cenderung berlebihan dan jauh dari kata rasional. Ketika seseorang mengalami gangguan kesehatan mental dan menjalani terapi perilaku kognitif, distorsi inilah yang diidentifikasi sehingga gangguan tersebut bisa disembuhkan.
Baca Juga:Self Love: 4 Cara Sederhana Belajar Mencintai Diri Sendiri7 Ciri Toxic People: Apakah Saya Termasuk?
Apabila dibiarkan, kesalahan ini akan menjadi kebiasaan, mempengaruhi kondisi emosi manusia, serta termanifestasi dalam perilaku. Namun, jalan keluar tetap tersedia, yakni dengan mengidentifikasi pikiran yang tidak wajar kemudian mengubahnya ke arah yang lebih baik.
Berikut merupakan tanda bahwa seseorang memiliki pola pikir tidak rasional.
Black and White Thinking
Orang dengan mindset ini percaya pada pola “semua atau tidak sama sekali”. Distorsi kognitif ini membuat orang berpikir hanya di dua titik ekstrem. Mereka tidak percaya pada keabu-abuan.
Orang-orang pasti baik atau jahat. Hidup akan berjalan lancar atau buruk. Peristiwa yang terjadi menyenangkan atau menyedihkan. Jika tidak mendapatkan nilai A, berarti mereka bodoh. Itulah yang menempel dalam kepala mereka.
Pemikiran ini membuat orang kesulitan untuk melihat sesuatu dari sisi yang baik dan sering merasa bahwa sesuatu tidak dapat diperbaiki.
Jumping to Conclusion
Kesimpulan selalu terbentuk bahkan meski belum ada bukti kuat yang mendukung. Orang berpikir mereka tahu segalanya dan tidak membutuhkan validasi untuk pengetahuannya itu. Akibatnya, jika mendapat kritik atau penolakan, mereka hanya berfokus bahwa orang tersebut tidak menyukai mereka, bukan esensi dari kritik yang diberikan.