RADARPEKALONGAN.ID – Mengambil hikmah qurban di hari raya Idul Adha bisa menjadi pelajaran berharga bagi umat Islam. Khususnya pada bulan Dzulhijjah ini ada momen ibadah yang dijalankan umat Islam yaitu Qurban.
Qurban berasal dari bahasa Arab qarraba – yuqarribu– qurbaanan. Yang berarti “mendekatkan diri”.
Mendekatkan diri artinya menghilangkan jarak atau menghilangkan penghalang antara diri kita dengan sesuatu yang kita akan dekati.
Baca Juga:9 Tips Bepergian ke Luar Negeri buat Pemula8 Tips agar Wifi di Rumah Ngebut seperti Valentino Rossi
Qurban secara umum pengertiannya menghilangkan sesuatu yang menghalangi atau membuat jarak antara kita dengan Allah.
Qurban adalah ibadah ritual dalam islam yang tertua. Tidak hanya tertua namun setiap umat dari jaman ke jaman selalu disyariatkan untuk berqurban. Sebagai mana Firman Allah :
“Dan bagi tiap tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang orang yang tunduk patuh (Kepada Allah) (QS. Al Hajj 22:34)
Qurban di Masa Nabi Ibrahim
Ilustrasi Mekah (Foto freepik Image by Rochak Shukla)
Hikmah Qurban di masa Nabi Ibrahim diabadikan dalam Al-Qur’an surat As-Saaffaat ayat 100-109. Dikisahkan Nabi Ibrahim membicarakan perintah itu dengan anaknya.
Anaknya dengan kesabarannya yang luar biasa menyetujui untuk melaksanakan perintah tersebut. Dan tatkala keduanya berserah diri dalam menjalan perintah Allah.
Allah mengganti anak itu dengan seekor sesembelihan besar. Sebelumnya telah dikisahkan juga bahwa Nabi Ibrahim dan istrinya itu seorang yang mandul.
Baca Juga:Rekomendasi Rice Cooker Buat Keluarga di Rumah5 Rekomendasi AC Harga Terjangkau dan Kualitas Oke Sekali
Lalu Allah menganugerahkan seorang anak yang telah dinantinya. Hingga anak tersebut tumbuh remaja datanglah perintah Allah untuk menyembelihnya.
Hikmah Qurban yang bisa diambil dari kisah Nabi Ibrahim. Pertama, Qurban tidak hanya berupa hewan ternak saat itu namun berupa seorang anak (sesuatu yang dicintai).
Kedua, yang dikorbankan adalah sesuatu yang paling dicintai. Saat itu anak menjadi penghalang antara Allah dan Nabi Ibrahim.
Ketiga, esensi qurban adalah kerelaan untuk kehilangan. Jika telah nyata rela berserah diri. Rela kehilangan sesuatu yang dicintai karena Tuhan. Maka Allah mengembalikan anak tersebut kepadanya.