Adapula tradisi lokal yang sudah hilang dikarenakan tidak ada warga yang mau melanjutkannya yaitu mitoni dengan campuran tradisi baca sumilir. Mitoni ialah tradisi adat yang ditujukan oleh ibu yang sedang mengandung selama tujuh bulan.
Lantunan ayat suci Al-Qur’an seperti Surah Yusuf dan Surah Maryam dibacakan oleh bapak-bapak warga setempat. Adapun makna Surah Yusuf yaitu jabang bayi yang dikandung supaya gagah seperti Nabi Yusuf dan surah Maryam supaya jabang bayinya cantik jelita. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan pembacaan sumilir.
Sumilir adalah sebuah doa-doa kebaikan yang dipanjatkan supaya selamat, baik yang dikandung maupun yang mengandung. Di sela-sela pembacaan doa, sebuah galar (yang terbuat dari bambu diberi air dan telur) dilemparkan. Apabila galar itu jatuh terlentang, maka tanda bahwa jabang bayi itu perempuan.
Baca Juga:Budi Yuwono Terpilih sebagai Ketua Pemuda Pancasila Kota Pekalongan Periode 2023-2027 pada Muscab VIIDinperpa Akan Menggelar Vaksinasi PMK untuk Domba dan Kambing di Kota Pekalongan
Sekarang tradisi mitoni masih ada, namun tidak lagi beserta dengan pembacaan sumilir. Tradisi pembacaan sumilir ketika ibu mengandung sudah hilang sebab pemuda di sana tidak ada yang mau berperan untuk menggantikan seseorang yang membaca sumilir tersebut.
Di Desa Karangsari terdapat sebuah makam yang konon katanya dulunya itu seorang pendiri desa tersebut yaitu Mbah Wangsataruna.Warga desa tersebut sangat bermoderasi antar umat beragama. Kegiatan-kegiatan yang diadakan pun mencakup semua golongan masyarakat dan golongan agama, kecuali acara pengajian dalam agama Islam.
Sayangnya, dalam berkomunikasi para remaja sudah mulai melupakan Bahasa Jawa dan sebab teknologi kegiatan-kegiatan yang ada juga sudah mulai hilang. Hal ini menimbulkan dampak dalam jangka panjang apabila tidak segera diubah oleh masyarakat di desa tersebut. (*)
*) Oleh: Syafika Saffanah, Mahasiswa UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan