RADARPEKALONGAN.ID, BATANG- Sebuah insiden memilukan terjadi di sebuah pondok pesantren di wilayah Kecamatan Limpung, Batang. Seorang santri berinisial W (15), menjadi korban pengeroyokan brutal yang dilakukan oleh 15 teman sekamarnya sendiri.
Kejadian nahas itu berlangsung pada Kamis (29/5) pukul 00.30 WIB. Korban dituduh mencuri rokok dan uang, tanpa bukti atau konfirmasi. Tuduhan itu berujung pada vonis sepihak dan malam itu menjadi awal dari mimpi buruk panjang bagi W.
“Korban dipukul, ditendang di bagian wajah, dan punggungnya dipukul pakai gagang sapu,” terang Ketua Gerakan Jalan Lurus (GJL) Kota Semarang, Budi Priyono, Minggu (13/7), yang kini mendampingi korban dan keluarganya.
Baca Juga:Final Duwis Pekalongan 2025: Regina & Santhika Juara, Wali Kota Harap Jadi Teladan Produktif! Seragam Gratis SD-SMP Batang Terlambat Didistribusi, Bupati Faiz Janji Perluas Sasaran!
Menurut Budi, W terus dipaksa mengaku atas tuduhan yang tak pernah ia lakukan. Ia menolak, namun balasannya justru serangan fisik bertubi-tubi. Dalam kondisi luka-luka, tubuh lemas, dan mental terguncang, W nekat kabur dari pondok keesokan harinya. Tanpa kendaraan dan uang, ia melangkah kaki sejauh puluhan kilometer, menempuh perjalanan dua hari satu malam, demi satu tujuan: pulang ke rumah orang tuanya di Kajen, Pekalongan. Malam pertamanya, W tidur di masjid alun-alun Batang, menjadikan dinding dan lantai dingin sebagai saksi bisu pelariannya.
Setibanya di rumah, keluarga langsung membawa W ke RSUD Batang untuk divisum. Hasilnya, terlihat jelas luka lebam dan memar di wajah serta punggung korban. Tak tinggal diam, esok harinya keluarga melapor ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Batang.
Budi Priyono menyayangkan kejadian ini terjadi di lembaga pendidikan keagamaan. “Seharusnya pondok pesantren jadi tempat mendidik etika dan akhlak. Kalau kekerasan masih dibiarkan, apa bedanya dengan dunia luar yang penuh kekerasan itu?” katanya.
Sementara itu, kuasa hukum korban, Steven S.H., M.H. dari Divisi Hukum GJL Jateng, menegaskan akan membawa kasus ini sampai ke ranah pengadilan. “Ini menyangkut keselamatan anak. Kekerasan seperti ini tidak bisa dibiarkan. Semua pelaku harus bertanggung jawab secara hukum. Ini demi efek jera dan perlindungan anak lainnya di lingkungan pesantren,” tegas Steven.