Misionaris yang datang ke perkebunan bernama Pendeta Stevens Philips dengan dibantu Kyai Sadrach. Misionaris ini bertugas melayani orang-orang yang bekerja di perkebunan teh di Moga. Mereka tidak hanya melayani orang-orang di perkebunan teh dan sekitar Kecamatan Moga saja, tapi juga menyebarkan agama Kristen di 3 kecamatan lain, meliputi: Kecamatan Pulosari, Kandanggotong, dan Batursari.
Pada tahun 1910 jumlah jemaat tidak mengalami perkembangan karena terjadi penolakan dari para haji dan santri di sekitar Kecamatan Moga dan masalah pendidikan yang tertinggal. Selanjutnya, pada tahun yang sama seorang misionaris bernama Bruder Bauszat mendirikan rumah sakit pembantu dan mengurusnya sendiri. Untuk pelayanan jemaat berupa pengobatan di rumah sakit yang didirikan oleh Bruder Bauszat.
Rumah sakit tersebut mendapat bantuan dana hibah dari Pemerintah Belanda dan bantuan tersebut juga ditujukan untuk sekolah. Tidak hanya dari pemerintah Belanda saja, tapi bantuan juga datang dari Utrecht dan Neukirchen sebesar f 44.093,895. Selanjutnya, pada tahun 1911 di Kecamatan Moga berdiri sebuah Gereja Kristen Jawa yang bertugas untuk melayani pembabtisan, pernikahan, sidi, dan pengajaran katekisasi (pendidikan iman Kristen).
Baca Juga:Peringati HUT TNI, DPP Petanesia bersama Ormas di Kota Pekalongan Gelar Longmarch dan Berikan Tumpeng ke Kodim 0710/PekalonganKolaborasi Apik BPJS Kesehatan, Wujudkan Transformasi Mutu Layanan JKN yang Cepat, Mudah dan Setara
Di Jawa, teh merupakan komoditas yang penting dan sektor perkebunan mendominasi perekonomian dari 1870 sampai 1945. Ketika masa perkebunan swasta, komoditas teh meningkat pesat. Pada tahun 1930 terjadi Depresi ekonomi yang mempengaruhi industri perdagangan ekspor, seperti yang terjadi pada perkebunan gula dan kopi yang mengalami penurunan harga dan permintaan di pasar dunia. Akan tetapi, perkebunan teh tidak mengalami penurunan ekspor, justru mengalami peningkatan terus.
Depresi ekonomi tahun 1930 menyebabkan banyaknya perusahaan perkebunan di Jawa dan Sumatera Timur mengalami kebangkrutan. Tidak hanya itu, banyak tenaga kerja upahan kehilangan kesempatan kerja, terutama di sektor perkebunan. Bahkan upah diturunkan hingga 50% yang mengakibatkan penurunan daya beli dan permintaan masyarakat. Oleh karena itu, kemiskinan dan pengangguran terjadi dimana-mana.
Pada tahun 1939 masalah tidak hanya pada kemiskinan dan pengangguran saja, masalah kesehatan juga melanda di Pemalang. Kemiskinan dan paceklik telah menyebabkan munculnya wabah busung lapar di wilayah Pemalang bagian selatan. Para penderita busung lapar mendapatkan perawatan secara medis di rumah sakit yang didirikan oleh misionaris di Moga dan mendapat bantuan makanan dari pemerintah.