3 Tradisi Unik yang Hilang, Padahal Dulu Lazim Dilakukan Tak Ubahnya Kewajiban

Tradisi unik yang hilang
Ilustrasi tradisi unik yang hilang. (disway.id)
0 Komentar

RADARPEKALONGAN.ID – Tanpa kita sadari, banyak tradisi atau minimal kebiasaan di masyarakat lenyap ditelan zaman, raib entah ke mana. Padahal, banyak kebiasaan yang dulu lazim dilakukan masyarakat, serasa wajib hingga takut jika meninggalkan atau menanggalkannya. Nah bagi kalian generasi yang lahir di era 1980 an atau 1990 an awal, ini contoh 3 tradisi unik yang hilang, meski dulu dilakukan sebagai ritual yang seolah wajib.

Ya mungkin fenomena tersebut hanyalah bagian kecil dari yang yang sering disebut hukum kekekalan perubahan. Bahwa segala sesuatu pasti perubah, kecuali perubahan itu sendiri. Kenyataan seringkali mengonfirmasi kebenaran ungkapan ini, apa yang dulu dianggap mutlak dan tak mungkin berubah, pada akhirnya berubah juga. Ya seperti yang akan kita bahas kali ini, tradisi unik yang hilang, beberapa kebiasaan atau ritual tertentu yang dulu amat familiar dan bahkan terkesan wajib, tetapi perlahan ditinggalkan masyarakat. Kini, nyaris tak ada lagi, bahkan bisa-bisa dianggap takhayul dan bahkan syirik.

Nah, apa saja 3 tradisi unik yang hilang seiring zaman itu, yuk simak ulasan singkatnya di bawah ini.

Baca Juga:Program BKK Dusun Sudah Sentuh 652 Dusun, Ini Harapan Bupati DicoManjur TMMD Sengkuyung Tahap I 2023, Desa Terisolir di Kendal Ini Dibangunkan Jalan Beton

Tradisi Unik yang Hilang Karena Perubahan Zaman

1. Ritual Permisi Saat Lewat Tempat Sepi

Ini mungkin pengalaman paling melekat dari tradisi unik yang hilang, yakni kebiasaan atau ritual masyarakat saat melewati tempat sepi, angker, atau lingkungan baru, atau paling eksplisit adalah melewati sebuah pohon besar yang rindang. Tak peduli anak-anak, remaja, dewasa, dan bahkan anak-anak, mereka akan serta merta menundukkan hati sambil mengucap mantra yang masyhur dan dihapal orang-orang saat itu.

“Amit Nyai, putumu numpang liwat.” atau “Amit Mbah, putumu numpang liwat, ojo diganggu.” dan berbagai ungkapan sejenisnya. Mungkin berbeda daerah berbeda pula ungkapan atau redaksi bahasanya.

Yang pasti, ritual ini amat karib dengan anak-anak yang lahir dan bertumbuh di era 1980 an atau sampai 1990 an awal, dan apalagi yang hidup sebelum itu. Ritual permisi ini seolah membawa pesan bagi anak-anak generasi saat itu untuk membiasakan meminta izin kepada sing mbahurekso, penguasa atau penunggu wilayah, bisa juga pohon.

0 Komentar