Tentang KDRT, Benarkah Perempuan Terlalu Pemaaf? 3 Kondisi Ini Mungkin Bisa Menjelaskan

Benarkah perempuan terlalu pemaaf
Kasus LDRT yang berulang bisa jadi turut dipicu oleh kecenderungan perempuan terlalu pemaaf. (Freepik)
0 Komentar

“Kenapa dengan wajahnya yang sering lebam dan hatinya yang terluka, perempuan tetap memilih memaafkan dan bertahan. Kenapa tak lari saja, cerai misalnya. Toh kekerasan itu sudah diterimanya berulang. Kenapa justru korban masih tahan hidup dengan monster?”.

Tentu saja ini bukan pertanyaan pepesan kosong. Sang aktivis ini telah beberapa kali mendampingi istri korban KDRT. Mereka menanggung sakit, tetapi lebih banyak yang memilih mengendapkan masalah ini alih-alih melapor ke polisi misalnya. Bahkan dalam beberapa kasus, kalaupun akhirnya kasus KDRT ini dilaporkan ke polisi, pun bukan oleh korban, melainkan tetangga atau lembaga atau LSM perlindungan perempuan. Kenapa perempuan terlalu pemaaf meski dirinya harus menanggung derita panjang?

Perempuan Terlalu Pemaaf dan Rantai KDRT

Benarkah perempuan terlalu pemaaf dalam konteks maraknya kasus KDRT? Lalu, benarkah pemaafan perempuan justru berpotensi melanggengkan rantai kekerasan bagi perempuan itu sendiri?

Baca Juga:[PUISI] Tentang Pandangan32 Biksu Masuk Kendal dan Menginap di Gereja, Terkesima atas Sambutan yang Luar Biasa

Wah, pertanyaanya abot tenan iki Cak. Nah, biar lebih sederhana, kita juga pertama-tama harus menanyakan, apakah kondisi perempuan terlalu pemaaf ini berdiri sendiri, sebut saja variabel independen, ataukah maafnya perempuan dipengaruhi oleh faktor lainnya? Modyar wes, tambah mumeti, hahaha.

Begini ngab, terkadang ketika seseorang memaafkan kesalahan orang lain tidak melulu karena karakternya yang pemaaf. Tidak selalu juga karena seseorang itu secara tulus ingin memaafkan.

Misalkan ada anak orang kaya, bokapnya pejabat, menganiaya anak orang miskin. Kasus ini tidak dilaporkan ke polisi oleh si korban maupun keluarganya, tetapi diselesaikan secara damai. Karena kasusnya viral misalnya, lalu kesepakatan damai itu diunggah di media sosial. Pelaku menyampaikan permohonan maaf dengan gesture penyesalan, lalu korban juga menyatakan memaafkan dan tak akan melanjutkan kasus ini ke ranah hukum.

Coba kita tebak tipis-tipis, adakah pengaruh status dan kekuasaan dari pelaku dan keluarganya terhadap pemberiaan maaf dari korban ke pelakunya? Ya, dalam kajian sosiologi ataupun spesifik studi gender, mungkin itulah yang disebut relasi kuasa yang tidak setara, yang bisa mempengaruhi situasi (Karena sudah mempengaruhi dengan kuasa, maka bisa juga disebut tindakan politik kan?).

0 Komentar